Senin, 15 Agustus 2011

CINTA SANG AYAH PADA ANAKNYA

Sebut saja namanya Pak Yusuf, laki-laki kelahiran Makasar 43 tahun silam. Laki-laki empat bersaudara yang lahir dari rahim seorang perempuan keturunan Tionghoa dari seorang ayah yang beristrikan tiga orang. Istri yang pertama seorang keturunan Belanda, istri kedua seorang perempuan asli Maksassar dan istri ketiga yakni ibu Pak Yusuf. Sejak kecil Pak Yusuf diasuh oleh ibunya, penganut Katolik yang taat, dia pun dimasukkan ke sekolah Katolik dengan harapan bisa mendalami agama yang dianut oleh keluarga ibunya.Ayah Pak Yusuf seorang muslim tapi tidak pernah mengajari Pak Yusuf juga saudara sekandungya tentang Islam.

Setelah menamatkan sekolah pertamanya Pak Yusuf merantau ke Kendari.Pekerjaan apapun dia terima demi menyambung hidup, di sana pula Pak Yusuf menemukan tambatan hatinya yang kemudian dinikahinya dan keputusan besar dalam hidup Pak Yusuf diambil, Pak Yusuf menjadi mualaf sejak tahun 1993. Setahun kemudian putri pertama mereka lahir. Keluarga kecil ini memulai untuk merintis usaha kecil-kecilan dengan membuka warung sembako. Alhamdulillah usaha mereka lancar dan banyak keuntungan yang mereka dapatkan. Istrinya menyisihkan keuntungan itu sedikit demi sedikit. Pada tahun 1996 lahir putra mereka yang kedua. Lengkap sudah kebahagiaan mereka, dua orang anak, laki-laki dan perempuang. Tahun 1997 istrinya pergi menunaikan Rukun Islam yang kelima.

Hidup manusia seperti roda yang selalu berputar. Manusia hanya boleh berencana namun hasil sepenuhnya adalah hak dari Sang Maha Penentu. Perlahan usaha Pak Yusuf dan istriya mengalami kemunduran. Sejak itulah Pak Yusuf banting stir, bekerja apa saja asalkan untuk bisa menafkahi keluarganya.Dan sejak tiga tahun yang lalu Pak Yusuf memgawali "karirnya" sebagai kuli di sebuah toko bersama seorang perantau dari Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka berdua sudah layaknya saudara sendiri.

Tiga tahun bekerja sebagai kuli bangunan rupanya membuat Hartono, teman Pak Yusuf itu mempunyai ide untuk mengajak Pak Yusuf merantau, tak tanggung-tanggung, Hartono mengajak Pak Yusuf ke Sumatera katanya mau mencari pekerjaan sebagai kuli di pertambangan. Demi rasa tanggung-jawab pada keluarga dan keinginan besaranya ingin menyekolahkan Reny, putri sulungnya di  sekolah kebidanan maka Pak Yusuf mengikuti ajakan Hartono. Pakaian dan bekal uang secukupnya sudah didapatkan. Tujuan pertama mereka adalah Sidoarjo karena Hartono ingin berpamitan pada keluarganya. Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan dengan kapal laut dan kereta api akhirnya sampailah mereka ke Stasiun Sidoarjo. Tak ada prasangka sedikitpun yang ada dibenak Pak Yusuf terhadap Hartono karena selama dia kenal tak sekalipun Hartono melakukan tindakan yang merugikan Pak Yusuf. Sesampainya di Stasiun Sidoarjo mereka ke kamar kecil secara bergantian. Awalnya Hartono yang masuk lebih dulu, Pak Yusuf bertugas menjaga barang-barang bawaan mereka, kemudian giliran Pak Yusuf yang ke kamar kecil dan Hartono yang bertugas menjaga barang-barang.

Inilah lakon hidup manusia. Teman kerja, sesama kuli toko yang selama tiga tahun sudah dianggap sebagai keluarga sendiri dan karena ajakannya pula Pak Yusuf membulatkan tekad meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk merantau ke Sumatera namun ternyata Hartono tak lebih dari musang berbulu domba. Saat Pak Yusuf keluar dari kamar kecil Hartono teryata sudah raib bersama  barang-barang milik Pak Yusuf juga uang untuk bekal yang dititipkan pada Hartono. Awalnya, Pak Yusuf masih berprasangka baik pada sahabatnya itu. “Ah, mungkin saja Hartono lagi jalan keluar cari makan”, pikir Pak Yusuf. Namun ternyata prasangka baik itu tidak terbukti. Tiga hari lamanya Pak Yusuf berada di Stasiun Sidoarjo menunggu keajaiban, Hartono akan datang menemuninya. Ya, tiga hari tanpa bekal sesenpun dan hanya dengan pakaian yang melekat di tubuhnya. Untuk makan Pak Yusuf mengandalkan pemberian dari orang-orang yang bersimpati padanya. Pada hari ketiga atas saran dari seseorang di stasiun Pak Yusuf di suruh datang ke Kantor Dompet Dhuafa Jawa Timur.

Saat datang ke Kantor Dompet Dhuafa kondisi Pak Yusuf sangat mengenaskan. Dia mengenakan kaos lengan pendek, celana jeans pendek, buntalan di kantong plastik hitam yang ternyata pemberian seseorang sewaktu Pak Yusuf menggelandang di Stasiun Sidoarjo. Setelah mendengarkan kisahnya akhirnya Pimpinan Dompet Dhuafa Jatim memutuskan untuk membelikan tiket kapal laut sampai Bau Bau dan memberinya uang untuk bekal selama dalam perjalanan dan ongkos dari Bau Bau ke Kendari. Salah satu sumber dana Dompet Dhuafa diperoleh dari zakat ummat, Pak Yusuf masuk dalam salah satu asnaf yang berhak untuk menerima zakat yakni seorang musafir.


Subhanallah, betapa senangnya Pak Yusuf menerima bantuan itu. Dia sampai mau bersujud di hadapan Pimpinan Dompet Dhuafa Jatim, mengucapkan terima kasih ke semua yang ada di situ dengan bercucuran air mata. Ketika hendak keluar kantor  Pak Yusuf tiba-tiba bilang “Maaf Pak, apa ada kaos untuk ganti kaos saya yang sudah kumal ini?”,tanyanya.
Kami semua sontak kaget, kami bahkan tak sempat memikirkan hal itu. Alhamdulillah, di kantor ada donasi pakaian pantas pakai yang belum disalurkan dan setelah menerima pakaian itu lagi-lagi Pak Yusuf tiada hentinya mengucapkan terima kasih. Dengan diantar salah seorang staff untuk membeli tiket kapal Pak Yusuf meninggalkan kantor namun lagi-lagi baru saja keluar kantor Pak Yusuf masuk lagi, kali ini bukan ingin meminta sesuatu lagi tapi “Pak, kalau saya mau mengirimkan jambu mete dialamatkan kemana  ya?”, pertanyaannya lagi-lagi membuat kami terperangah. Belum lagi Pak Yusuf menikmati bantuan dari Dompet Dhuafa tapi dia sudah ingin membalasnya dengan kebaikan yang lain…..Subhanallah……………

Surabaya, 15 Agustus 2011
Zaida Zakiyah

Jumat, 12 Agustus 2011

SUNYI

Matahari telah masuk peraduannya, sekawanan camar nampak  bergegas terbang menuju sarangnya. Muda-mudi yang tadi asyik bercengkrama di bibir pantai kini sudah meninggalkan tempat itu. Ibu-ibu penjaja makanan dan minumanpun telah kembali ke rumah masing-masing. Suasana di Pantai Parangtritis benar-benar sepi. Dingin angin pantai mulai merasuki tubuh. Deburan ombak semakin meninggi dan menghempaskannya tepat ditempatku duduk. Aku bergegas bangkit dan berjalan membelakangi laut. Suasana hatiku sudah mulai reda meski belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan kalau Mas Adzin yang aku cintai kini telah pergi dan kembali kepada istrinya.

Siang itu, selepas bertemu dengan Mas Adzin aku memutuskan untuk tidak langsung kembali ke rumah, aku tidak mau membuat Ibu dan Bapaku ikut terluka karena putri semata wayangnya tidak jadi menikah dengan calon menantu yang sangat mereka sayangi. Aku ingin menengangkan diri sejenak, tinggal di rumah Bulikku di Parantritis. Aku tahu, Mas Adzin juga sangat berat melepaskanku, dia tidak tega melihatku terluka.
“Dik Zai, sekali lagi maafkan aku, aku tahu Dik Zai sangat menyayangi Arikah dan Arinah tapi mungkin jalan kita harus seperti ini, aku yakin Dik Zai akan menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dariku, lebih menyayangimu lebih mencintaimu dan lebih bisa Dik Zai jadikan imam, maafkan aku Dik”,ujar Mas Adzin terbata-bata.
Bagiku kata-kata itu hanyalah sebuah untaian tanpa makna karena hatiku sakit sekali. Aku tidak pernah membayangkan kalau inilah akhir dari impian dan penantianku selama ini. Impian yang begitu indah kini harus kandas ditengah jalan.
“Lupakanlah aku Dik, aku tahu kau adalah perempuan yang tegar setegar karang, aku tahu kau tidak akan terpuruk karena kejadian ini, aku tahu kau akan kuat menerima keputusanku”, kata Mas Adzin yang terdengar semakin parau.

Tangisku semakin menjadi, aku benar-benar tidak bisa lagi menguasai diri, Afifah terus menepuk-nepuk bahuku untuk menguatkanku. Aku benar-benar berada dititik nadir kehidupanku. Dunia rasanya gelap, aku tak tahu lagi ke mana kaki ini hendak kulangkahkan. Emosiku benar-benar memuncak.
“Istighfar Mbak Zai, istighfar, ingatlah sama Allah Mbak”, tiba-tiba Afifah mengingatkanku.
“Astaghfirullahal’adzim….”, kuucap istighfar berkali-kali ditengah isak tangisku. Dan benar, Alhamdulillah akhirnya emosiku akhirnya reda.Kukumpulkan kembali semangatku. Aku harus tetap bertahan meski mungkin aku tidak bisa melupakan Mas Adzin seumur hidupku tapi dunia tidak akan berhenti berputar hanya karena aku harus merelakan Mas Adzin kembali kepelukan istrinya.
Saat kesadaranku telah pulih dan isak tangisku telah terhenti aku langsung telepon ke rumah.
“Assalamu’alaikum Bu, ini Zai, Bu malam ini Zai mau minta ijin untuk menginap di rumah Bu Lik Sri di Parangtritis, Zai kangen sama Bulik”, pintaku pada Ibu.
Dan seperti biasa, Ibuku, Ibu terhebat seduni selalu mengijinkanku karena memang sejak kecil aku sangat dekat dengan Bulik Sri. Dulu Beliau tinggal bersama kami, Ibulah yang mengasuh Bulik karena nenek kami meninggal waktu Bulik masih kecil dan Ibulah yang menggantikan peran nenek. Ibu sangat menyayangi adik-adiknya terutama Bulik Sri dan sampai aku lahir Buliklah yang merawatku. Bulik Sri baru meninggalkan rumah kami setelah menikah dengan seorang  pedagang dari Parangtritis. Namun kedekatanku dengan Beliau tetap tak terpisahkan oleh jarak. Aku masih sering menginap di rumahnya. Makanya tiap kali aku minta ijin untuk menginap di sana sudah pasti Ibu selalu mengijinkanku. Alhamdulillah…Allah Swt memberiku Ibu yang sangat baik hati…..
“Mas, bolehkan untuk terakhir kalinya aku meminta bantuanmu untuk mengantarkanku ke Parangtritis, aku mau menginap di rumah Bulik Sri”, pintaku.
Mas Adzin menjawab permintaanku hanya dengan anggukan kepala. Aku tahu ada banyak kata yang ingin dia sampaikan tapi mungkin sudah tidak tega lagi melukaiku.
“Mas, tolong diputarkan lagu Maher Zain ya yang judulnya The Rest of My Life”, pintaku lagi. Dan lagi-lagi tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutnya langsung memutar lagu kesayangan kami, lagu yang selama ini selalu kami dengarkan saat jalan-jalan bersama anak-anak sampai-sampai Arikah dan Arinah protes kenapa lagu itu terus yang diputar dan kami hanya tersenyum.

Lagu yang sangat indah, lagu yang dulu seolah menyatu dengan impian dan hati kami. Kami akan menghabiskan sisa umur kami untuk saling mencintai, saling mencintai karena Allah. Namun rupanya Allah Swt berkehendak lain. Mungkin yang kami inginkan bukanlah yang terbaik untuk kami menurut Allah Swt. Aku jadi teringat nasihat seorang kawan yang dia kirimkan melalui sms
“Sesaat aku merenung, ketika aku minta pada Allah setangkai bunga segar, Ia beri aku kaktus berduri, ketika aku minta pada Allah binatang mungil nan cantik, Ia beri aku ulat berbulu, aku sedih, protes dan kecewa….betapa tidak adilnya ini……namun kemudian, kaktus itu berbunga, sangat indah sekali dan ulat itupun telah tumbuh dan berubah menjadi kupu-kupu yang amat cantik. Itulah jalan Allah, indah pada waktunya! Allah tidak beri apa yang kita harapkan tapi Dia memberi apa yang kita perlukan. Kadang kita sedih, kecewa, terluka tapi jauh di atas segalanya, Dia sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan kita”.

Sepanjang perjalanan kami semua diam. Bergelut dengan angan dan pikiran masing-masing. Aku yang duduk di jok belakang diam seribu bahasa, menyandarkan badan dan kepalaku pada jok, kupejamkan mata, kurenungi nasihat temanku tadi sambil meresapi lagu yang tengah diputar sampai akhirnya aku tertidur.

“Mbak Zai, kita sudah sampai di Parangtritis, di rumah Bulik Sri”, Afifah membangunkanku. Pelan kubuka mataku, kukucek-kucek, kupandangi kanan kiriku, ternyata benar, aku sudah berada di depan rumah Bu Lik Sri. Aku turun dari mobil. Bulik ternyata sudah berdiri di belakangku, kubalikkan badanku dan kucium tangan Bulik lama sekali. Beliau sudah hafal sekali kelakuanku, kalau aku bertingkah seperti ini pasti sedang ada yang tidak beres, Beliau lalu mengangkat bahuku, memelukku erat-erat. Mas Adzin dan Afifah pamitan.
“Lho, kok Mas Adzin dan Mbak Afifah nggak masuk dulu”, tanya Bulik Sri.
“Maaf Bulik, kami harus pulang soalnya sebentar lagi harus diatar ke TPA, Insya Allah lain kali aja Bulik, saya titip Dik Zai”, jawab Mas Adzin.

Seperti biasa, Bulik tidak pernah banyak tanya kalau sudah melihatku dalam keadaan seperti ini. Beliau tahu aku kan dapat menguasai diriku sendiri.Aku hanya membutuhkan ketenangan. Bulik segera masuk ke kamarku, kamar yang memang khusus disediakan untukku, di sana juga ada beberapa helai pakain yang aku kenakan tiap kali menginap di rumah Bulik. Beliau mengambil pakaianku dari lemari dan segera memanggilku yang masih terdiam, duduk di teras.
“Zai sayang, mandi dulu ya, kebetulan di tungku ada air hangat, mandilah dulu, cuci rambutmu dengan air hangat biar pikianmu menjadi lebih tenang”, perintah Bulik Sri.
Tanpa menjawab, aku bergegas ke dapur, Bulik masih memakai tungku untuk memasak, katanya lebih alami dan lebih enak rasanya dan kayu bakar juga masih banyak tersedia di sekitar rumah. Aku menuangkan air panas dari panci ke dalam ember dan membawanya ke kamar mandi.
Benar kata Bulik, setelah mandi aku merasakan batinku lebih tenang. Emosiku mulai reda. Pikiranku mulai terang. Jalan hidup manusia memang so undpredictable tidakbisa diprediksi. Manusia hanya bisa merencanakan sedang keputusan akhir adalah hak prerogatif dari Sang Maha Pengatur alam semesta. Seusai mandi aku menunaikan sholat Ashar, batiku semakin tenang.Keluar dari tempat sholat Bulik menuntunku ke ruang makan.
“Zai, makan ya, Bulik tadi masak sayur kesukaanmu, sayur daun singkong, goreng ikan teri dan bikin sambel korek, makanlah, Zai pasti lapar”, ujar Bulik Sri.|
Benar saja, aku makan sangat lahap sekali, mungkin tangisku tadi menguras energiku dan membuatku kelaparan. Bulik tersenyum-senyum memandangiku.
“Zai, kau masih sama seperti saat masih kecil dulu, setelah hilang emosimu maka kau pasti akan makan dengan lahap”, kata Bulik menggodaku. Aku meringis.
Untung saja tadi Bulik mengambilkan nasi cuma satu sendok nasi jadi aku tidak sampai kekenyangan karena sudah pasti Beliau akan mengingatkanku “Zai, kamu harus ingat dong sama hadis “
makanlah sebelum lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang”.
 “Bulik, Zai mau kepantai dulu, Zai pengin lihat deburan ombak”, pintaku.
“Ya Zai, nikmatilah anugerah Allah Swt sepuasmu tapi jangan lupa Zai harus pulang sebelum Maghrib”, jawab Bulik.

Rumah Bulik Sri hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari bibir pantai. Kuberjalan menyusuri gang rumah penduduk, mereka semua adalah tetangga Bulik Sri yang sudah sangat mengenalku, kusapa mereka dan kadang aku hanya menganggukan kepalaku saja. Aku mencari tempat yang jauh dari kerumunan dan ingin menyendiri…………….

Minggu, 07 Agustus 2011

NANDHANG WUYUNG

Sore wis ngancik wayah bengi wektu aku metu saka papan panggaweyanku ana ing Melia Purosani. Lakuku alon banget margo aku wis krasa lungkrah, kesel. Tekan pos satpam ana kang aruh-aruh.
 " Badhe kondur mbak?"
Mbarang tak clinguk jebul petugas kang lagi jaga.
"O inggih Pak, mangga", wangsulanku.
 Nembe wae aku arep neruske lakuku trus ana maneh suara kang ngundang
" Assalamu'alaikum Mbak Tiyas".
"Wa'alaikumsalam wr. wb. eh, kowe to Di, ana apa kok wayah bengi awakmu thethenguk ana kene".pitakonku marang Didi, kancane Dewi, Dewi kuwi kanca kostku.
 "Anu Mbak, sengaja ngenteni Mbak Tiyas".
 "Ngenteni aku, ana perlu apa kok njanur gunung pisan, nganggo ngeteni aku barang".
 "Aku mau saka Malioboro banjur duwe niat arep ketemu Dewi, la wektu lewat ngarep kae aku kelingang panjenengan dadi sekalian ngenteni dadi bisa bareng, kersa ya Mbak kondur sekaliyah karo namung aku nyuwun ngapuro namung nitih bebek durung bisa tuku roda papat Mbak, maklum esih kuliah".
"Yo ra apa-apa Di, biasane aku yo mung mlaku". wangsulanku.
Langit wis gumebyar, lintang lan rembulan saya nambah endahing cakrawala.Para pemuda ketok pada lelungan bebarengan. Aku nembe kelingan yen saiki malem Minggu. Ah, pantes dalanan Yogya kok rame banget. Sangsaya tambah macet apamaneh jalur Malioboro, prasasat wis kaya ana ing Jakarta.
Aku ora nggatekake laku sepeda motor, barang aku weruh dalan kang dilewati aku langsung gragap, bingung.
"Di, kok dalane lewat kene, iki rak arep nyang Jl. Solo, la wong kost-kostanku wae nyang Bausasran, piye to Di". Pitakonku bingung.
"Mbak, pangapurane sing akeh, aku krasa luwe banget, wiwit awan mau aku durung mangan, aku nyuwun palilahe panjenengan ngancani aku mangan dhisik, pancen kita arep nyang Jl. Solo, nyang kana ana ayam bakar enak banget" wangsulane Didi.
"Tapi aku ra wis mangan jam 6 mau neng kantin kantor Di".
"Aku ngerti Mbak, namung sepisan maneh aku nyuwun tulung panjenengan kersa ngancani aku mangan dhisik"
Aku kena skak, mati gak bisa nolak, nek aku ngomong ora ra penak la wong wis tekan ngarep Duta Wacana. Aku pasrah. Tekan panggonan kang dak tuju Didi langsung pesen iwak bakar, ayam bakar lan sega. Aku bingung. Kok Didi pesen akeh banget. Maneh, aku kena skak. Aku ra bisa nolak. Pancen, rasane enak banget. Ra krasa jebul wis jam sepuluh bengi.Didi ngeterke aku mulih, wektu tak elingke nek dheweke jare arep nemoni Dewi banjur jawabe arep mrana maneh sesuke.
Wektu terus lumaku, sering Didi methuk aku, alasane padha arep nyang kost-kostan. Kadang dheweke teka langsung nyang ngomah wayah aku libur, ngajak aku ngobrol ngalor ngidul. Nyritaake kuliahe neng Akademi Maritim bagian tekhnik, nyritaake keluargane kang Betawi Asli lan liya-liyane. Kadang uga teka pas wayah Dewi kuliah. Memang, sak kost namung aku dhewe kang wis nyambut gawe, kanca-kancaku padha kuliah kabeh. Aku dadi mbakyu kang diajeni banget, aku jarang bersih-bersih, wayah esuk sarapan wis cumawis, tak tinggal kerja kamarku padha diresiki, bajukupun sering disetrikaake. Enak tenan, padahal kompensasiku ringan banget, aku mung kudu nggarepke PR Basa Inggris. Iku thok.
Sawetara suwe aku sibuk banget karo panggaweyanku, aku ora nggatekake yen Didi uga wis sawetara suwe ora teka apa methuk aku. Apa maneh aku banjur pindah ana Novotel lan kostku uga pindah nyang Sagan, sak wetane Galeria. Nganti sawijining dina aku kaget, Dewi teka bareng karo Didi. Alasane uga ora lucu. Arep nyilih kamus. Aku ora ngobrol suwe karo dheweke amarga aku wis wayahe budhal kerja. Seminggu sauwise Didi teka dhewe, mbalekake kamus. Namung, Didi ngungkapake apa kang tansah dadi pikirane kang nggawe aku kaya ketiban langit, kaya kesamber bledhek".
"Mbak Tiyas, aku arep ngomong namung aku njaluk tulung panjenengan aja nyela apa kang dak omongake, sawetara suwe atiku kebak rerasan, kebak pikiran, wis suwe anggonku nahan amarga aku rumangsa durung pantes, mula kuwi aku cepet-cepet ngrampungke kuliahku lan alhamdulillah saiki aku wis entuk panggaweyah ana bengkel kapal neng Tanjung Priuk, aku sengaja teka nyang Yogya nemoni panjenengan, minggu wingi sakjane aku arep ngomong namung aku krasa ra penak karo Dewi, aku ngerti mbak, sak wise Dewi pisah karo pacara, dheweke ana ati karo aku tapi aku ra tau nanggepi amarga wis wiwit mbiyen aku nduwe gegadhangan wong wadon kang arep dadi sisihanku, ibu anak-anakku lan aku nembe arep ngomong nek uripku wis mapan. Lan saiki aku wis entuk panggaweyan, aku uga wis ngomong karo wong tuaku. Mbak Tiyas, aku tresna karo panjenengan saka lair tumusing batin, aku kepenging Mbak Tiyas nglairke anak-anakku".
Aku nangis, atiku krasa lara banget, aku bingung kudu aweh wangsulan apa.
"Di, aku kudu kepiye, aku kudu njawab apa".
Didi meneng, padha bingune karo aku. Tak tata atiku, kepiye maneh, Didi kudu ngerti kasunyatan iki. Aku ngerti Didi bakal kuciwa, bakal lara ati.
"Di, pangapuramu sing akeh, aku kudu terus terang karo awakmu yen saiki aku wis ana kang nduweni, aku wis krama Di"...................
Causeway Bay, 22 Juni 2008

SEBUAH DRAMA KEHIDUPAN DI STADION MAGUWOHARJO

Pagi itu langit masih bertabur bintang, udara dingin benar-benar menusuk tulang. Lampu listrik yang dipancarkan di seputar Stadion Maguwoharjo dengan kekuatan penuh menerangi seluruh sudut stadion. Para pengungsi yang tidur bertebaran di lantai-lantai semakin merapatkan selimut. Tampak beberapa Ibu-ibu yang mempunyai anak masih bayi terbangung untuk mengganti popok anaknya yang basah. Beberapa lansia terbatuk-batuk, mungkin tubuh mereka yang sudah renta tidak kuat menahan dinginnya udara pagi itu apalagi tidur di tempat tak berdinding.

Aku melipat selimutku. Kupandangi para pengungsi yang tidur di sekelilingku. Ah, inikah jalan terbaik yang Kau pilihkan untuk hamba-Mu ya Rabb, semoga mereka semua kuat menerima ujian dari-Mu. Amien.Kuambil peralatan mandiku dan bergegas menuju kamar mandi, mumpung masih pagi jadi ga perlu mengantri. Tapi ternyata pikiranku salah, beberapa tentara yang bertugas di sana telah lebih dulu bangun. Tidak apa-apalah, hitung-hitung bisa melanjutkan tidur sambil berdiri, bersandarkan dinding, siapa tahu bisa mengulang mimpi semalam yang terputus.Beberapa saat kemudian seorang tentara keluar dari kamar mandi, kami sudah saling kenal karena sudah beberap hari bersama di posko.
“Mbak Zai mau mandi, dingin banget lho Mbak, mending mandinya nanti siang aja deh”, ujar Pak Sholeh, Beliau adalah salah seorang tentara yang ditugaskan untuk memantau situasi pengungsian dan harus selalu siaga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Beliau sangat baik dan sholeh seperti namanya, selalu sholat malam.Aku salut sekali pada Beliau, pada kisah-kisah yang Pak Sholeh ceritakan padaku saat ditugaskan di Aceh juga beberapa daerah konflik yang lain di tanah air.

“Ya Pak Sholeh, mumpung masih pagi dan belum banyak yang antri, kalau kesiangan sedikit paling malah ga bisa mandi Pak”, jawabku.
“Ya sudah Mbak Zai, saya duluan”, ujar Pak Sholeh.
“Monggo Pak”, jawabku singkat.
Selepas mandi kusiapkan sajadah dan mukenaku. Sholat Tahajud empat rakaat, mengadukan semua persoalan hidupku pada Sang Maha Pengatur karena hanya Dialah yang bisa membantu segala permasalahanku. Air mata mengalir deras saat sujudku, memohon ampun atas segala dosa yang telah kuperbuat yang sudah tak terhitung lagi.
“Ya Rabb, ampunilah semua dosa-dosaku yang sudah tak terbilang lagi, tunjukanlah agar aku selalu melangkah di jalan yang lurus, jalan yang Engkau ridhoi bukan jalan yang Engkau murkai, berilah kesabaran pada Saudara-saudaraku yang tengah tertimpa musibah, kuatkanlah iman mereka ya Rabb. Amien”, itu doa yang selalu kupanjatkan saat tahajudku.Aku yakin sekali Allah Swt akan mengabulkan doa-doaku.

Tak lama kemudian adzan Shubuh terdengar, segera kubangunkan beberapa pengungsi yang biasa sholat bersamaku, beberapa anak remaja yang sebelumnya tidak pernah menunaikan sholat tapi setelah aku nasihati Alhamdulillah mau mengerjakannya dan setiap malam sebelum tidur selalu berpesan “Mbak Zai, besok Shubuh tolong bangunkan saya ya”, pintanya. Senang sekali melihat perubahan yang terjadi pada mereka.

Setelah merapikan mukena dan sajadah kuambil sepatu olah ragaku. Seperti biasa selepas Sholat Shubuh aku berlari pagi mengelilingi stadion dan jalan-jalan kampung di sekitarnya. Udara pagi yang masih sangat segar kuhirup dalam-dalam.Riyan, anak seorang pengungsi berumur 11 tahun yang setiap pagi selalu setia menemaniku berolah- raga kadang sampai menyerah.
“Mbak Zai, istirahat dulu ya, Riyan capek nih, please Mbak.”, pintanya memelas.
“Iya deh, kita duduk di aspal tapi jangan lupa, kakimu ga boleh ditekuk, harus selonjor”, jawabku.
“Baik bos, tapi Mak Zai sendiri kakinya ditekuk”, jawab Riyan sambil tertawa mencibirku. Waduh kena deh aku .

Kembali ke barak pengungsian, bercanda sebentar dengan anak-anak lalu kembali mengajak Riyan ke dapur umum untuk meminta jatah makan pagi untuk para pengungsi yang ada di wilayah tanggung jawabku. Meski akhir-akhir ini prosedur pengambilan jatah makan untuk pengungsi agak berbelit tapi Alhamdulillah akhirnya aku dapatkan juga jatah makan untuk para pengungsi. Rupanya pemerintah agak kewalahan menangani distribusi makanan untuk para pengungsi yang puluhan ribu jumlahnya.
Tugas selanjutnya adalah membantu Mbah Wongso, seorang lansia yang mungkin sudah berumur delapan puluh tahunan, menderita lumpuh, memapahnya ke kamar mandi dengan dibantu oleh tentara yang berjaga di situ. Mbah Wongso, seperti para pengungsi lansia lainnya sebenarnya sudah benar-benar pasrah, tidak mau mengungsi sampai akhirnya di evakuasi secara paksa oleh tim evakuasi karena rumahnya yang berada di daerah Boyong sudah tidak aman lagi untuk didiami.

Den, mbok kulo di wangsulke mawon, kulo sampun boten betah manggen wonten mriki, kulo namung ngrepoti Panjenengan mawon, kulo boten saged mlampah, mbok pun, kulo pun pasrah kok Den, menawi griyo kulo rubuh nggih boten nopo-nopo menawi kulo kerubuhan, kulo pejah nggih boten nopo-nopo, wong kulo nggih sampun tuwo”, begitu pinta Mbah Wongso tiap kali aku membantunya memapah ke kamar mandi.

Aku sebenarnya sangat memahami psikologis Beliau. Mbah Wongso tipe orang Jawa yang tidak mau merepotkan orang lain tapi tentu saja tiap hari ku mencoba untuk menghiburnya. Mbah Wongso yang sangat membutuhkan perhatian dari anak cucunya tapi mereka seolah tidak peduli. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Hanya sesekali saja mereka menengok. Tiap aku bersama Mbah Wongso aku selalu teringat Ibuku, butiran hangat selalu saja menetes, membasahi pipiku, Ibukupun sudah sepuh meski belum seperti Mbah Wongso tapi pasti Ibuku ingin selalu berdekatan dengan anak cucunya tapi karena tugas jualah aku sering meninggalkan Beliau.

Tak banyak kegiatan yang ku lakukan siang itu, lebih banyak menghibur para pengungsi yang sudah mulai jenuh, bosan dan ingin kembali ke rumah masing-masing tapi belum diijinkan oleh yang berwajib karena kondisi Gunung Merapi yang belum benar-benar aman. Aku sendiri juga sudah mulai kangen rumah. Kangen masakan Ibu ku, masakan yang setahuku masakan terlezat sedunia. Kangen pelukan Ibu. Ah….seperti anak kecil saja tapi begitulah aku, anak yang sangat dimanja oleh Ibu bahkan setua inipun masih sering disuapi dan sejak kecil belum pernah sekalipun aku dimarahi oleh Ibu. Ibuku, Ibu terbaik sedunia.

Tiba-tiba telepon genggam jadulku bordering, kuliah di layar. Ah…dari teman karibku ternyata.
“Assalamu’alaikum Dik Zai, siang ini aku mau ke posko, kamu mau makan apa nanti tak belikan”, kata Mas Iman di ujung telepon.

Sejenak kuberfikir, kira-kira aku mau makan apa ya siang itu….dan akhirnya ketemu ide juga.
“Alaikumsalam wr wb Mas Iman, tolong bawakan aku gudeng Mijilan aja Mas, aku kangen, kangen sama gudeng Mijilan lho bukan sama Mas Iman”, jawabku.
“Halah, mbok ojo koyo ngono to Dik, wong kangen aku juga ga apa-apa kok hehehe”, seloroh Mas Iman.
“Sip, nanti tunggu aja, sebelum Dhuhur aku sudah sampai di posko, ini tak bereskan dulu urusan kantor”, jawab Mas Iman.
Alhamdulillah Ya Rabb, Engkau telah mengirimkan Mas Iman untukku, sahabat yang teramat baik untukku, langgengkanlah persahabatan kami sampai ke syurgamu kelak. Amien.

Sore itu aku mendatangi rumah sakit darurat yang ada di stadion, bukan untuk mengantar pengungsi berobat tapi aku sendiri yang merasa tubuhku sudah lemah.
Setelah di tensi oleh Dokter Wati, aku dipandangi sambil geleng-geleng kepala.
“Mbak Zai, pokoknya hari ini Mbak Zai harus pulang, kondisi Mbak Zai sudah benar-benar drop, tensi Mbak Zai cuma 80, untung saja Mbak tidak pingsan, fisik Mbak alhamdulillah kuat tapi tidak ada alasan lagi bagi Mbak Zai untuk tetap bertahan di sini, tugas biar diserahkan pada relawan yang lain, Mbak Zai harus pulihkan dulu kesehatan sendiri”, ujar Dokter Wati panjang lebar.
“Baik Dok”, jawabku singkat padahal dalam hati aku berbicara kalau aku tidak mungkin pulang hari ini karena masih ada tugas membuat laporan yang belum aku selesaikan.

Kota Cinta, 7 Agustus 2011

CINTAKU TELAH PERGI

Sore itu langit cerah sekali, tak ada secarikpun kabut yang menyelimuti. Burung-burung bergerak serempak ke arah yang sama, menuju sarang mereka. Matahari tlah lelah mengitari bumi, begitulah yang selalu nampak di mata kita, bukan bumi yang mengitari matahari, hendak menuju peraduannya. Deburan ombak di pantai Parangtritis yang bergulung-gulung, lalu seperti biasa, pecah di bibir pantai. Beberapa anak manusia masih asyik, menunggu saat sunset tiba, beberapa dari mereka adalah pasangan muda-mudi yang mungkin tengah memadu kasih, mengejawantahkan rasa cinta. Beberapa ekor kuda dituntun oleh pemiliknya, menuju kandang setelah seharian dituntut untuk bekerja, mengitari rute yang sama dan di pantai yang sama, memuaskan kehendak para pelancong yang ingin mengitari pantai dengan menunggang kuda.

Aku sendiri, duduk diam, jauh dari gerombolan orang lain. Ku ingin menikmati sepiku.
Tadi siang, sebuah elegi hidup tlah menyapaku, memporak-porandakan impianku akan keluarga sakinah mawadah warahmah.

Laki-laki yang dulu berjanji akan menjadikanku ibu dari anak-anaknya memutuskan untuk menjauhiku, sejauh-jauhnya karena istrinya yang dulu sudah pergi meninggalkannya telah kembali lagi dalam pelukannya. Sebenarnya sejak dulupun aku sudah takut hal ini akan terjadi, status perpisahannya dengan istrinya yang belum dikuatkan oleh hukum sangat memudahkannya untuk kembali pada istrinya.Memang, jangankan yang belum berkekuatan hukum, yang sudah resmi bercerai saja banyak yang akhirnya rujuk kembali. Dan, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menuntut janji manis yang selami ini dia ucapkan. Sakit hatinya akan pengkhianatan istrinya yang telah pergi dengan laki-laki lain rupanya mudah dilupakannya.

"Dik Zai, apa bisa kita bertemu siang ini, Dik Zai libur kan," begitu suaranya tadi di telepon."Ada apa Mas, kok tumben minta ketemua, bukannya biasanya Mas langsung datang ke rumah, bertemu dengan orang tuaku, lalu kita ngobrol bersama di ruang tamu, kok aneh, sekarang pakai minta ijin segala, apa ada sesuatu yang penting Mas?" aku balik bertanya kebingungan. Perasaanku langsung tidak enak."Ya Dik, kita harus bicara dan aku tidak mau kita bicara di rumahmu, bisa kan Dik Zai nanti pergi bersama Mas ke sebuah tempat, tenang saja Dik, tempat itu ramai kok," jawab Mas Adzin, laki-laki yang selama ini aku cintai."Baik Mas, jam berapa Mas, kita tidak pergi berdua kan?, tanyaku."Ga Dik, nanti aku bareng sama Afifah adikku, Mas jemput ba'da Dhuhur di rumah ya? jawab Mas Adzin.

Dari pagi hingga siang itu benakku dipenuhi oleh berbagai pikiran, prasangka dan entah apalagi namanya. Tidak biasanya Mas Adzin bersikap begini. Hubungan kami sudah sangat baik, aku sudah diperkenalkan dengan kedua orang tuanya juga anak-anak Mas Adzin yang di rawat oleh adiknya, Afifah karena ibu mereka telah pergi dengan laki-laki lain. Arikah dan Arinah, putri kembar Mas Adzin yang berumur lima tahun malah sudah lengket sekali denganku. Kami sering bebergian bersama-sama. Mereka memanggilku dengan Umi. Kadang mereka menginap di rumahku setelah bermain seharian dan tidak mau pulang. Ibu Bapakkupun sudah menganggap mereka seperti cucu mereka sendiri. "Putri semata-wayang Ibu belum menikah tapi Ibu sudah punya cucu yang cantik-cantik dan menggemaskan sekali", begitu ujar Ibuku suatu ketika.Ba'da Dhuhur, benar saja, Mas Adzin datang bersama Afifah ke rumah, setelah berpamitan pada Ibu Bapakku aku pergi bersama mereka, menyusuri Jalan Solo menuju sebuah rumah makan di sisi selatan jalan di daerah Kalasan, rumah makan dengan gazebo di atas kolam.

"Kamu mau makan apa Dik Zai?, tanya Mas Adzin padaku. Benakku yang masih saja diliputi rasa penasaran dan ga punya selera makan sama sekali hanya menggeleng."Terserah Mas aja lah", jawabku akhirnya."Oke, kita pesan gurami bakar yang besar untuk kita bertiga saja ya", tanyanya. Aku dan Afifah mengangguk.Aku benar-benar kehilangan selera makanku, aku hanya mencicipi daging ikan gurami bakar beberapa suap. Itupun aku menelannya dengan susah payah.

Setelah selesai makan dengan tidak sabar aku bertanya pada Mas Adzin."Mas, ada apa sih sebenarnya sampai Mas mengajakku pergi ke sini, Mas Adzin mau ngomong apa?' tanyaku penasaran.
"Dik Zai, kau tahu kan kalau aku sangat mencintaimu, aku sangat ingin menjadikanmu Ibu anak-anakku?", tanyanya yang semakin membuatku tidak mengerti.
"Dik Zai, hidup tak selamanya seindah yang kita impikan, dan impian kita tidak selamanya bisa jadi kenyataan, kita hanya manusia yang hanya bisa berkeinginan dan berdoa sedang hasilnya adalah mutlak kekuasaan Allah Ta'ala," terang Mas Adzin.
Aku hanya terbengong sambil menunggu kata-kata selanjutnya.
"Aku tidak ingin menyakitimu, akupun tidak ingin membuat hatimu terluka Dik Zai, sungguh Dik, aku hanya ingin membahagiakanmu namun aku hanya manusia biasa," Mas Adzin berhenti sejenak.
Dadaku mulai sesak, mulai bisa menebak ke arah mana pembicaraan ini akan dia bawa.
"Dik Zai tahu kan kalau istriku telah pergi dengan laki-laki lain, hatiku sangat sakit sekali, sebagai laki-laki aku merasa sangat terhina," Mas Adzin menghela nafas panjang."Namun Dik Zai, memaafkan adalah jalan yang terbaik, walau bagaimanapun juga dia telah melahirkan anak-anakku, kami pernah bahagai," Mas Adzin kembali menghela nafas. Dadaku semakin sesak,tak terasa butiran-butiran hangat mulai menetes di pipiku.
"Dik, beberapa hari yang  istriku datang bersama orang tuanya, dia meminta maaf atas segala khilafnya dan dia berjanji akan memperbaiki diri dan sikapnya, dia menangis berurai air mata dihadapanku, menyesali kekeliruannya dan aku tentu saja bingung Dik, memberi maaf padanya dan sekaligus menerimanya kembali menjadi istriku ataukah memberi maaf padanya namun tetap sesuai dengan komitmen awal kita, bercerai dengannya dan kita menikah, aku benar-benar bingung Dik Zai" , urai Mas Adzin.

Tangisku semakin menjadi.
"Akhirnya aku sampaikan pada istriku juga mertuaku, kalau aku sudah punya calon istri dan aku tidak bisa memutuskan untuk menerimanya kembali saat itu, aku sampaikan pada mereka kalau aku akan meminta petunjuk dulu pada Sang Maha Pengatur."

Aku benar-benar sudah tidak bisa menguasai diriku pada saat itu. Bayangan masa-masa indah yang kulewati bersama Mas Adzin dan anak-anaknya semakin mengiris-iris ulu hatiku.

"Aku melakukan sholat tahajud beberapa malam Dik dan aku yakin jawaban yang Allah Ta'ala berikan adalah yang terbaik bagi kita. Sungguh Dik, aku benar-benar tidak ingin menyakiti hatimu tapi mungkin inilah yang terbaik bagi kita, aku akan menyatukan kembali anak-anakku dengan ibunya Dik Zai, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya padamu, kau gadis yang begitu baik, kau sudah ikhlas menerimaku meski aku sudah punya dua anak, kau sudah merelakan banyak waktumu untuk mengurus Arikah dan Arinah, maafkan aku Dik Zai, maafkan aku," Mas Adzin tertunduk lesu.
Afifah yang dari tadi diam saja lalu bergeser ke sebelahku, merangkulku dalam pelukannya, aku menangis sejadi-jadinya.

Kota Cinta, 6 Agustus 2011

CINTAKU SAHABATKU

Jalanan kota gudeg masih sepi, tukang becak yang biasa mangkal di dekat Jembatan Juminahan masih terkantuk-kantuk, enggan membuka mata. Beberapa mbok-mbok yang berkain menaiki sepeda onthel membawa keranjang sayuran, habis kulakan di Pasar Bringharjo, saat hendak melewati tanjakani Tukangan dengan  reflek, turun dari sepeda dan menuntunnya sampai tanjakan habis, tanjakan yang tak panjang tapi cukup membuat keringat bercucuran. Salah satu dari mbok pedagang sayur itu berhenti tepat di ujung tanjakan dan sontak, ibu-ibu yang sedari tadi sudah menunggu mengerubutinya bak semut yang berpesta saat menemukan gula. Celoteh merekapun langsung nyaring terdengar, dari harga yang katanya kok mahal, belum bisa bayar utang sebulan yang lalu karena uang habis dipakai buat bayar sekolah anaknya sampai yang ngrasani seorang ibu yang hobby berbelanja segala macam jenis sayur dan daging, cash pula, entah dari mana uangnya di dapat.
Kutersenyum sendiri menyaksikan drama pagi yang mengasyikan ini, mau tak mau aku sejenak menghentikan langkahku, mendengarkan celotehan mereka dan tanpa sadar ternyata ada teman se- kantorku yang kost tepat di sisi tanjakan sudah berhenti di sampingku.
"Zaidah, sepagi ini kau sudah melamun, tersenyum-senyum sendiri dipinggir jalan pula," suara Iman mengagetkanku. Sahabatku yang satu ini memang selalu saja tak bisa melihatku asyik dengan duniaku.
"Mau berangkat ke kantor apa mau jadi pengamat sosial yang so'sial karena dirimu bisa aja kesandung gara-gara mengamati ibu-ibu yang tengah berbelanja sayuran, ayo kalau mau berangkat ke kantor jalan bareng aku". Aku belum sempat memberikan jawaban ketika Iman sudah menyeretku mengikuti langkahnya. Sebenarnya jarak kantor kami sudah sangat dekat, tinggal tujuh menit perjalanan dengan jalan kaki.
"Mas Iman, Zai boleh tanya ga?" tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari mulutku.
"Ada apa Zai, kok tumben kamu mau tanya sesuatu ke aku, bukannya selama ini kamulah yang selalu mengguruiku dengan segala idealisme dan pandangan-pandangan hidupmu, jangan marah Zai, aku "bersedia' menjadi sahabatmu ya karena kau itu cerdas, baik hati dan tentu saja tidak pernah menabung," jawab Iman sambil terkekeh dan berlari kecil menjauhiku, dia pasti tahu kalau aku akan mencubitnya dengan cubitan sekecil-kecilnya yang akan meninggalkan noda kebiruan di kulitnya. Namun kali ini aku sedang tidak punya selera untuk berkelakar sama sekali.

"Mas Iman, tunggu, aku tak akan mencubitmu kali ini, aku janji, aku mau bertanya hal yang serius padamu!"
Iman langsung menghentikan langkahnya, memandangku dengan mimik kebingungan.
"Tak biasanya kau seserius ini Zai.....ada apa?"
Kami berdua berdiri tepat di atas jembatan Juminahan sambil memandangi Kali Code yang airnya tak seberapa dengan beberapa karamba di pinggirnya.Tampak beberapa pemilik keramba itu tengah memberi makan ikan-ikan dalam keramba tersebut.
"Mas, apakah benar diantara  1000 laki-laki hanya seorang yang berhati baik, apakah laki-laki selalu menganggap wanita sebagai makhluk yang lemah yang bisa dengan mudah di bohongi?"
Iman terbengong-bengong mendengarkan pertanyaanku yang mungkin diluar dugaannya.


"Zai, sudah beberapa tahun aku mengenalmu, pahit getirnya hidupmupun aku sudah tahu, luka hatimu yang disebabkan oleh kebiadaban kaumku pun aku bisa merasakannya tapi kau tidak bisa menghakimi semua laki-laki hanya karena ulah orang yang kau cintai namun ternyata malah mencampakkanmu. Bukalah matamu Zai, dunia ini tak akan berhenti berputar hanya karena tangisanmu, laki-laki yang telah menipumu sebenarnya adalah tengah menipu dirinya sendiri, aku yakin kau perempuan tangguh, kau tak perlu terjun ke Kali Code hanya untuk atas nama luka. Sudahlah Zai, tak perlu kau sesali yang sudah terjadi, jalanmu masih panjang, kau ingat, masih ada lima ratus meter lagi jalan yang harus kita lalui untuk sampai kantor," jawab Iman panjang lebar tapi tetap saja gurauan tak lepas dari tingkahnya.
Iman langsung mendahuluiku, berjalan menuju kantor.
"Tunggu Mas, teganya kau membiarkanku jalan sendirian!".

Iman membalikkan badan dan seulas senyum manis menghiasi bibirnya.
”Aku sangat menyayangimu Zai, seperti adikku sendiri, aku tak mau kau bersedih, aku tak mau kau membiarkan dunia ini melibasmu.”

Kami berjalan beriringan, saat melewati pos satpam sejenak kami berhenti menyapa Pak Dwi yang berjaga pagi itu. “Monggo Pak Dwi”, kalimat itu meluncur dari mulut kami secara bersamaan, tanpa komando, dan kami saling  berpandangan, tawapun pecah .
”Monggo Mas Iman, Mbak Dwi, jian kompak banget ya, sampai ngomongpun kayak paduan suara”. Pak Dwi ikut tertawa renyah menyaksikan kami yang selalu saja masih bertingkah seperti anak-anak.
Sebelum kami masuk ke locker masing-masing  aku teringat sesuatu.

“Mas, nanti sore tidak usah menungguku ya, aku mau ke Malioboro Mall, lihat-lihat, hanya sekedar window shopping.”
Iman mengernyitkan dahinya, “Window shopping, sama siapa?”.
”Sendirian Mas,” jawabku pendek.
”O tidak, aku tidak akan pernah membiarkanmu berjalan-jalan sendirian apalagi saat suasana hatimu sedang kacau, pokoknya nanti kamu aku tunggu di pintu keluar, aku harus menemanimu, aku tidak mau adikku yang super cerewet ini hilang disambar orang,” jawab Iman.
Dan seperti biasa, aku hanya mengangguk pelan, diperlakukan seperti anak kecil olehnya.


Itulah Iman, sahabatku semata wayang yang berasal dari Surabaya, yang selalu setia menemaniku, menghiburku, tak peduli dengan keletihan hatinya atas cintanya yang terkoyak karena harta dan status yang berbeda, dia tetap tegar dan selalu menyemangatiku, tanpa pamrih.
Pernah suatu ketika kami membahas bagaimana kami saling mengobati luka hati kami dengan menjadi sepasang kekasih, lama kami berfikir dan akhirnya kami memutuskan untuk tetap menjadi sahabat saja, kami takut saat kami menjadi kekasih justru akan menimbulkan luka baru.
Persahabatan yang sangat indah, selama bertahun-tahun, tanpa cela hingga banyak orang yang iri melihat kebersamaan kami. Kami saling mencintai tapi hanya sebatas sebagai sahabat………………

Kota Cinta, 6 Agustus 2011