Minggu, 07 Agustus 2011

CINTAKU SAHABATKU

Jalanan kota gudeg masih sepi, tukang becak yang biasa mangkal di dekat Jembatan Juminahan masih terkantuk-kantuk, enggan membuka mata. Beberapa mbok-mbok yang berkain menaiki sepeda onthel membawa keranjang sayuran, habis kulakan di Pasar Bringharjo, saat hendak melewati tanjakani Tukangan dengan  reflek, turun dari sepeda dan menuntunnya sampai tanjakan habis, tanjakan yang tak panjang tapi cukup membuat keringat bercucuran. Salah satu dari mbok pedagang sayur itu berhenti tepat di ujung tanjakan dan sontak, ibu-ibu yang sedari tadi sudah menunggu mengerubutinya bak semut yang berpesta saat menemukan gula. Celoteh merekapun langsung nyaring terdengar, dari harga yang katanya kok mahal, belum bisa bayar utang sebulan yang lalu karena uang habis dipakai buat bayar sekolah anaknya sampai yang ngrasani seorang ibu yang hobby berbelanja segala macam jenis sayur dan daging, cash pula, entah dari mana uangnya di dapat.
Kutersenyum sendiri menyaksikan drama pagi yang mengasyikan ini, mau tak mau aku sejenak menghentikan langkahku, mendengarkan celotehan mereka dan tanpa sadar ternyata ada teman se- kantorku yang kost tepat di sisi tanjakan sudah berhenti di sampingku.
"Zaidah, sepagi ini kau sudah melamun, tersenyum-senyum sendiri dipinggir jalan pula," suara Iman mengagetkanku. Sahabatku yang satu ini memang selalu saja tak bisa melihatku asyik dengan duniaku.
"Mau berangkat ke kantor apa mau jadi pengamat sosial yang so'sial karena dirimu bisa aja kesandung gara-gara mengamati ibu-ibu yang tengah berbelanja sayuran, ayo kalau mau berangkat ke kantor jalan bareng aku". Aku belum sempat memberikan jawaban ketika Iman sudah menyeretku mengikuti langkahnya. Sebenarnya jarak kantor kami sudah sangat dekat, tinggal tujuh menit perjalanan dengan jalan kaki.
"Mas Iman, Zai boleh tanya ga?" tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari mulutku.
"Ada apa Zai, kok tumben kamu mau tanya sesuatu ke aku, bukannya selama ini kamulah yang selalu mengguruiku dengan segala idealisme dan pandangan-pandangan hidupmu, jangan marah Zai, aku "bersedia' menjadi sahabatmu ya karena kau itu cerdas, baik hati dan tentu saja tidak pernah menabung," jawab Iman sambil terkekeh dan berlari kecil menjauhiku, dia pasti tahu kalau aku akan mencubitnya dengan cubitan sekecil-kecilnya yang akan meninggalkan noda kebiruan di kulitnya. Namun kali ini aku sedang tidak punya selera untuk berkelakar sama sekali.

"Mas Iman, tunggu, aku tak akan mencubitmu kali ini, aku janji, aku mau bertanya hal yang serius padamu!"
Iman langsung menghentikan langkahnya, memandangku dengan mimik kebingungan.
"Tak biasanya kau seserius ini Zai.....ada apa?"
Kami berdua berdiri tepat di atas jembatan Juminahan sambil memandangi Kali Code yang airnya tak seberapa dengan beberapa karamba di pinggirnya.Tampak beberapa pemilik keramba itu tengah memberi makan ikan-ikan dalam keramba tersebut.
"Mas, apakah benar diantara  1000 laki-laki hanya seorang yang berhati baik, apakah laki-laki selalu menganggap wanita sebagai makhluk yang lemah yang bisa dengan mudah di bohongi?"
Iman terbengong-bengong mendengarkan pertanyaanku yang mungkin diluar dugaannya.


"Zai, sudah beberapa tahun aku mengenalmu, pahit getirnya hidupmupun aku sudah tahu, luka hatimu yang disebabkan oleh kebiadaban kaumku pun aku bisa merasakannya tapi kau tidak bisa menghakimi semua laki-laki hanya karena ulah orang yang kau cintai namun ternyata malah mencampakkanmu. Bukalah matamu Zai, dunia ini tak akan berhenti berputar hanya karena tangisanmu, laki-laki yang telah menipumu sebenarnya adalah tengah menipu dirinya sendiri, aku yakin kau perempuan tangguh, kau tak perlu terjun ke Kali Code hanya untuk atas nama luka. Sudahlah Zai, tak perlu kau sesali yang sudah terjadi, jalanmu masih panjang, kau ingat, masih ada lima ratus meter lagi jalan yang harus kita lalui untuk sampai kantor," jawab Iman panjang lebar tapi tetap saja gurauan tak lepas dari tingkahnya.
Iman langsung mendahuluiku, berjalan menuju kantor.
"Tunggu Mas, teganya kau membiarkanku jalan sendirian!".

Iman membalikkan badan dan seulas senyum manis menghiasi bibirnya.
”Aku sangat menyayangimu Zai, seperti adikku sendiri, aku tak mau kau bersedih, aku tak mau kau membiarkan dunia ini melibasmu.”

Kami berjalan beriringan, saat melewati pos satpam sejenak kami berhenti menyapa Pak Dwi yang berjaga pagi itu. “Monggo Pak Dwi”, kalimat itu meluncur dari mulut kami secara bersamaan, tanpa komando, dan kami saling  berpandangan, tawapun pecah .
”Monggo Mas Iman, Mbak Dwi, jian kompak banget ya, sampai ngomongpun kayak paduan suara”. Pak Dwi ikut tertawa renyah menyaksikan kami yang selalu saja masih bertingkah seperti anak-anak.
Sebelum kami masuk ke locker masing-masing  aku teringat sesuatu.

“Mas, nanti sore tidak usah menungguku ya, aku mau ke Malioboro Mall, lihat-lihat, hanya sekedar window shopping.”
Iman mengernyitkan dahinya, “Window shopping, sama siapa?”.
”Sendirian Mas,” jawabku pendek.
”O tidak, aku tidak akan pernah membiarkanmu berjalan-jalan sendirian apalagi saat suasana hatimu sedang kacau, pokoknya nanti kamu aku tunggu di pintu keluar, aku harus menemanimu, aku tidak mau adikku yang super cerewet ini hilang disambar orang,” jawab Iman.
Dan seperti biasa, aku hanya mengangguk pelan, diperlakukan seperti anak kecil olehnya.


Itulah Iman, sahabatku semata wayang yang berasal dari Surabaya, yang selalu setia menemaniku, menghiburku, tak peduli dengan keletihan hatinya atas cintanya yang terkoyak karena harta dan status yang berbeda, dia tetap tegar dan selalu menyemangatiku, tanpa pamrih.
Pernah suatu ketika kami membahas bagaimana kami saling mengobati luka hati kami dengan menjadi sepasang kekasih, lama kami berfikir dan akhirnya kami memutuskan untuk tetap menjadi sahabat saja, kami takut saat kami menjadi kekasih justru akan menimbulkan luka baru.
Persahabatan yang sangat indah, selama bertahun-tahun, tanpa cela hingga banyak orang yang iri melihat kebersamaan kami. Kami saling mencintai tapi hanya sebatas sebagai sahabat………………

Kota Cinta, 6 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar