Minggu, 07 Agustus 2011

SEBUAH DRAMA KEHIDUPAN DI STADION MAGUWOHARJO

Pagi itu langit masih bertabur bintang, udara dingin benar-benar menusuk tulang. Lampu listrik yang dipancarkan di seputar Stadion Maguwoharjo dengan kekuatan penuh menerangi seluruh sudut stadion. Para pengungsi yang tidur bertebaran di lantai-lantai semakin merapatkan selimut. Tampak beberapa Ibu-ibu yang mempunyai anak masih bayi terbangung untuk mengganti popok anaknya yang basah. Beberapa lansia terbatuk-batuk, mungkin tubuh mereka yang sudah renta tidak kuat menahan dinginnya udara pagi itu apalagi tidur di tempat tak berdinding.

Aku melipat selimutku. Kupandangi para pengungsi yang tidur di sekelilingku. Ah, inikah jalan terbaik yang Kau pilihkan untuk hamba-Mu ya Rabb, semoga mereka semua kuat menerima ujian dari-Mu. Amien.Kuambil peralatan mandiku dan bergegas menuju kamar mandi, mumpung masih pagi jadi ga perlu mengantri. Tapi ternyata pikiranku salah, beberapa tentara yang bertugas di sana telah lebih dulu bangun. Tidak apa-apalah, hitung-hitung bisa melanjutkan tidur sambil berdiri, bersandarkan dinding, siapa tahu bisa mengulang mimpi semalam yang terputus.Beberapa saat kemudian seorang tentara keluar dari kamar mandi, kami sudah saling kenal karena sudah beberap hari bersama di posko.
“Mbak Zai mau mandi, dingin banget lho Mbak, mending mandinya nanti siang aja deh”, ujar Pak Sholeh, Beliau adalah salah seorang tentara yang ditugaskan untuk memantau situasi pengungsian dan harus selalu siaga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Beliau sangat baik dan sholeh seperti namanya, selalu sholat malam.Aku salut sekali pada Beliau, pada kisah-kisah yang Pak Sholeh ceritakan padaku saat ditugaskan di Aceh juga beberapa daerah konflik yang lain di tanah air.

“Ya Pak Sholeh, mumpung masih pagi dan belum banyak yang antri, kalau kesiangan sedikit paling malah ga bisa mandi Pak”, jawabku.
“Ya sudah Mbak Zai, saya duluan”, ujar Pak Sholeh.
“Monggo Pak”, jawabku singkat.
Selepas mandi kusiapkan sajadah dan mukenaku. Sholat Tahajud empat rakaat, mengadukan semua persoalan hidupku pada Sang Maha Pengatur karena hanya Dialah yang bisa membantu segala permasalahanku. Air mata mengalir deras saat sujudku, memohon ampun atas segala dosa yang telah kuperbuat yang sudah tak terhitung lagi.
“Ya Rabb, ampunilah semua dosa-dosaku yang sudah tak terbilang lagi, tunjukanlah agar aku selalu melangkah di jalan yang lurus, jalan yang Engkau ridhoi bukan jalan yang Engkau murkai, berilah kesabaran pada Saudara-saudaraku yang tengah tertimpa musibah, kuatkanlah iman mereka ya Rabb. Amien”, itu doa yang selalu kupanjatkan saat tahajudku.Aku yakin sekali Allah Swt akan mengabulkan doa-doaku.

Tak lama kemudian adzan Shubuh terdengar, segera kubangunkan beberapa pengungsi yang biasa sholat bersamaku, beberapa anak remaja yang sebelumnya tidak pernah menunaikan sholat tapi setelah aku nasihati Alhamdulillah mau mengerjakannya dan setiap malam sebelum tidur selalu berpesan “Mbak Zai, besok Shubuh tolong bangunkan saya ya”, pintanya. Senang sekali melihat perubahan yang terjadi pada mereka.

Setelah merapikan mukena dan sajadah kuambil sepatu olah ragaku. Seperti biasa selepas Sholat Shubuh aku berlari pagi mengelilingi stadion dan jalan-jalan kampung di sekitarnya. Udara pagi yang masih sangat segar kuhirup dalam-dalam.Riyan, anak seorang pengungsi berumur 11 tahun yang setiap pagi selalu setia menemaniku berolah- raga kadang sampai menyerah.
“Mbak Zai, istirahat dulu ya, Riyan capek nih, please Mbak.”, pintanya memelas.
“Iya deh, kita duduk di aspal tapi jangan lupa, kakimu ga boleh ditekuk, harus selonjor”, jawabku.
“Baik bos, tapi Mak Zai sendiri kakinya ditekuk”, jawab Riyan sambil tertawa mencibirku. Waduh kena deh aku .

Kembali ke barak pengungsian, bercanda sebentar dengan anak-anak lalu kembali mengajak Riyan ke dapur umum untuk meminta jatah makan pagi untuk para pengungsi yang ada di wilayah tanggung jawabku. Meski akhir-akhir ini prosedur pengambilan jatah makan untuk pengungsi agak berbelit tapi Alhamdulillah akhirnya aku dapatkan juga jatah makan untuk para pengungsi. Rupanya pemerintah agak kewalahan menangani distribusi makanan untuk para pengungsi yang puluhan ribu jumlahnya.
Tugas selanjutnya adalah membantu Mbah Wongso, seorang lansia yang mungkin sudah berumur delapan puluh tahunan, menderita lumpuh, memapahnya ke kamar mandi dengan dibantu oleh tentara yang berjaga di situ. Mbah Wongso, seperti para pengungsi lansia lainnya sebenarnya sudah benar-benar pasrah, tidak mau mengungsi sampai akhirnya di evakuasi secara paksa oleh tim evakuasi karena rumahnya yang berada di daerah Boyong sudah tidak aman lagi untuk didiami.

Den, mbok kulo di wangsulke mawon, kulo sampun boten betah manggen wonten mriki, kulo namung ngrepoti Panjenengan mawon, kulo boten saged mlampah, mbok pun, kulo pun pasrah kok Den, menawi griyo kulo rubuh nggih boten nopo-nopo menawi kulo kerubuhan, kulo pejah nggih boten nopo-nopo, wong kulo nggih sampun tuwo”, begitu pinta Mbah Wongso tiap kali aku membantunya memapah ke kamar mandi.

Aku sebenarnya sangat memahami psikologis Beliau. Mbah Wongso tipe orang Jawa yang tidak mau merepotkan orang lain tapi tentu saja tiap hari ku mencoba untuk menghiburnya. Mbah Wongso yang sangat membutuhkan perhatian dari anak cucunya tapi mereka seolah tidak peduli. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Hanya sesekali saja mereka menengok. Tiap aku bersama Mbah Wongso aku selalu teringat Ibuku, butiran hangat selalu saja menetes, membasahi pipiku, Ibukupun sudah sepuh meski belum seperti Mbah Wongso tapi pasti Ibuku ingin selalu berdekatan dengan anak cucunya tapi karena tugas jualah aku sering meninggalkan Beliau.

Tak banyak kegiatan yang ku lakukan siang itu, lebih banyak menghibur para pengungsi yang sudah mulai jenuh, bosan dan ingin kembali ke rumah masing-masing tapi belum diijinkan oleh yang berwajib karena kondisi Gunung Merapi yang belum benar-benar aman. Aku sendiri juga sudah mulai kangen rumah. Kangen masakan Ibu ku, masakan yang setahuku masakan terlezat sedunia. Kangen pelukan Ibu. Ah….seperti anak kecil saja tapi begitulah aku, anak yang sangat dimanja oleh Ibu bahkan setua inipun masih sering disuapi dan sejak kecil belum pernah sekalipun aku dimarahi oleh Ibu. Ibuku, Ibu terbaik sedunia.

Tiba-tiba telepon genggam jadulku bordering, kuliah di layar. Ah…dari teman karibku ternyata.
“Assalamu’alaikum Dik Zai, siang ini aku mau ke posko, kamu mau makan apa nanti tak belikan”, kata Mas Iman di ujung telepon.

Sejenak kuberfikir, kira-kira aku mau makan apa ya siang itu….dan akhirnya ketemu ide juga.
“Alaikumsalam wr wb Mas Iman, tolong bawakan aku gudeng Mijilan aja Mas, aku kangen, kangen sama gudeng Mijilan lho bukan sama Mas Iman”, jawabku.
“Halah, mbok ojo koyo ngono to Dik, wong kangen aku juga ga apa-apa kok hehehe”, seloroh Mas Iman.
“Sip, nanti tunggu aja, sebelum Dhuhur aku sudah sampai di posko, ini tak bereskan dulu urusan kantor”, jawab Mas Iman.
Alhamdulillah Ya Rabb, Engkau telah mengirimkan Mas Iman untukku, sahabat yang teramat baik untukku, langgengkanlah persahabatan kami sampai ke syurgamu kelak. Amien.

Sore itu aku mendatangi rumah sakit darurat yang ada di stadion, bukan untuk mengantar pengungsi berobat tapi aku sendiri yang merasa tubuhku sudah lemah.
Setelah di tensi oleh Dokter Wati, aku dipandangi sambil geleng-geleng kepala.
“Mbak Zai, pokoknya hari ini Mbak Zai harus pulang, kondisi Mbak Zai sudah benar-benar drop, tensi Mbak Zai cuma 80, untung saja Mbak tidak pingsan, fisik Mbak alhamdulillah kuat tapi tidak ada alasan lagi bagi Mbak Zai untuk tetap bertahan di sini, tugas biar diserahkan pada relawan yang lain, Mbak Zai harus pulihkan dulu kesehatan sendiri”, ujar Dokter Wati panjang lebar.
“Baik Dok”, jawabku singkat padahal dalam hati aku berbicara kalau aku tidak mungkin pulang hari ini karena masih ada tugas membuat laporan yang belum aku selesaikan.

Kota Cinta, 7 Agustus 2011

2 komentar:

  1. Bagus nih tulisannya mbak, layak memang klo tulisan sampean dimuat, terus dikembangkan dan ditingkatkan mbak...sukses sll. wassalam

    BalasHapus
  2. Makasih Mas Nano, tengah belajar dan terus belajar Mas.

    BalasHapus