Minggu, 07 Agustus 2011

CINTAKU TELAH PERGI

Sore itu langit cerah sekali, tak ada secarikpun kabut yang menyelimuti. Burung-burung bergerak serempak ke arah yang sama, menuju sarang mereka. Matahari tlah lelah mengitari bumi, begitulah yang selalu nampak di mata kita, bukan bumi yang mengitari matahari, hendak menuju peraduannya. Deburan ombak di pantai Parangtritis yang bergulung-gulung, lalu seperti biasa, pecah di bibir pantai. Beberapa anak manusia masih asyik, menunggu saat sunset tiba, beberapa dari mereka adalah pasangan muda-mudi yang mungkin tengah memadu kasih, mengejawantahkan rasa cinta. Beberapa ekor kuda dituntun oleh pemiliknya, menuju kandang setelah seharian dituntut untuk bekerja, mengitari rute yang sama dan di pantai yang sama, memuaskan kehendak para pelancong yang ingin mengitari pantai dengan menunggang kuda.

Aku sendiri, duduk diam, jauh dari gerombolan orang lain. Ku ingin menikmati sepiku.
Tadi siang, sebuah elegi hidup tlah menyapaku, memporak-porandakan impianku akan keluarga sakinah mawadah warahmah.

Laki-laki yang dulu berjanji akan menjadikanku ibu dari anak-anaknya memutuskan untuk menjauhiku, sejauh-jauhnya karena istrinya yang dulu sudah pergi meninggalkannya telah kembali lagi dalam pelukannya. Sebenarnya sejak dulupun aku sudah takut hal ini akan terjadi, status perpisahannya dengan istrinya yang belum dikuatkan oleh hukum sangat memudahkannya untuk kembali pada istrinya.Memang, jangankan yang belum berkekuatan hukum, yang sudah resmi bercerai saja banyak yang akhirnya rujuk kembali. Dan, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menuntut janji manis yang selami ini dia ucapkan. Sakit hatinya akan pengkhianatan istrinya yang telah pergi dengan laki-laki lain rupanya mudah dilupakannya.

"Dik Zai, apa bisa kita bertemu siang ini, Dik Zai libur kan," begitu suaranya tadi di telepon."Ada apa Mas, kok tumben minta ketemua, bukannya biasanya Mas langsung datang ke rumah, bertemu dengan orang tuaku, lalu kita ngobrol bersama di ruang tamu, kok aneh, sekarang pakai minta ijin segala, apa ada sesuatu yang penting Mas?" aku balik bertanya kebingungan. Perasaanku langsung tidak enak."Ya Dik, kita harus bicara dan aku tidak mau kita bicara di rumahmu, bisa kan Dik Zai nanti pergi bersama Mas ke sebuah tempat, tenang saja Dik, tempat itu ramai kok," jawab Mas Adzin, laki-laki yang selama ini aku cintai."Baik Mas, jam berapa Mas, kita tidak pergi berdua kan?, tanyaku."Ga Dik, nanti aku bareng sama Afifah adikku, Mas jemput ba'da Dhuhur di rumah ya? jawab Mas Adzin.

Dari pagi hingga siang itu benakku dipenuhi oleh berbagai pikiran, prasangka dan entah apalagi namanya. Tidak biasanya Mas Adzin bersikap begini. Hubungan kami sudah sangat baik, aku sudah diperkenalkan dengan kedua orang tuanya juga anak-anak Mas Adzin yang di rawat oleh adiknya, Afifah karena ibu mereka telah pergi dengan laki-laki lain. Arikah dan Arinah, putri kembar Mas Adzin yang berumur lima tahun malah sudah lengket sekali denganku. Kami sering bebergian bersama-sama. Mereka memanggilku dengan Umi. Kadang mereka menginap di rumahku setelah bermain seharian dan tidak mau pulang. Ibu Bapakkupun sudah menganggap mereka seperti cucu mereka sendiri. "Putri semata-wayang Ibu belum menikah tapi Ibu sudah punya cucu yang cantik-cantik dan menggemaskan sekali", begitu ujar Ibuku suatu ketika.Ba'da Dhuhur, benar saja, Mas Adzin datang bersama Afifah ke rumah, setelah berpamitan pada Ibu Bapakku aku pergi bersama mereka, menyusuri Jalan Solo menuju sebuah rumah makan di sisi selatan jalan di daerah Kalasan, rumah makan dengan gazebo di atas kolam.

"Kamu mau makan apa Dik Zai?, tanya Mas Adzin padaku. Benakku yang masih saja diliputi rasa penasaran dan ga punya selera makan sama sekali hanya menggeleng."Terserah Mas aja lah", jawabku akhirnya."Oke, kita pesan gurami bakar yang besar untuk kita bertiga saja ya", tanyanya. Aku dan Afifah mengangguk.Aku benar-benar kehilangan selera makanku, aku hanya mencicipi daging ikan gurami bakar beberapa suap. Itupun aku menelannya dengan susah payah.

Setelah selesai makan dengan tidak sabar aku bertanya pada Mas Adzin."Mas, ada apa sih sebenarnya sampai Mas mengajakku pergi ke sini, Mas Adzin mau ngomong apa?' tanyaku penasaran.
"Dik Zai, kau tahu kan kalau aku sangat mencintaimu, aku sangat ingin menjadikanmu Ibu anak-anakku?", tanyanya yang semakin membuatku tidak mengerti.
"Dik Zai, hidup tak selamanya seindah yang kita impikan, dan impian kita tidak selamanya bisa jadi kenyataan, kita hanya manusia yang hanya bisa berkeinginan dan berdoa sedang hasilnya adalah mutlak kekuasaan Allah Ta'ala," terang Mas Adzin.
Aku hanya terbengong sambil menunggu kata-kata selanjutnya.
"Aku tidak ingin menyakitimu, akupun tidak ingin membuat hatimu terluka Dik Zai, sungguh Dik, aku hanya ingin membahagiakanmu namun aku hanya manusia biasa," Mas Adzin berhenti sejenak.
Dadaku mulai sesak, mulai bisa menebak ke arah mana pembicaraan ini akan dia bawa.
"Dik Zai tahu kan kalau istriku telah pergi dengan laki-laki lain, hatiku sangat sakit sekali, sebagai laki-laki aku merasa sangat terhina," Mas Adzin menghela nafas panjang."Namun Dik Zai, memaafkan adalah jalan yang terbaik, walau bagaimanapun juga dia telah melahirkan anak-anakku, kami pernah bahagai," Mas Adzin kembali menghela nafas. Dadaku semakin sesak,tak terasa butiran-butiran hangat mulai menetes di pipiku.
"Dik, beberapa hari yang  istriku datang bersama orang tuanya, dia meminta maaf atas segala khilafnya dan dia berjanji akan memperbaiki diri dan sikapnya, dia menangis berurai air mata dihadapanku, menyesali kekeliruannya dan aku tentu saja bingung Dik, memberi maaf padanya dan sekaligus menerimanya kembali menjadi istriku ataukah memberi maaf padanya namun tetap sesuai dengan komitmen awal kita, bercerai dengannya dan kita menikah, aku benar-benar bingung Dik Zai" , urai Mas Adzin.

Tangisku semakin menjadi.
"Akhirnya aku sampaikan pada istriku juga mertuaku, kalau aku sudah punya calon istri dan aku tidak bisa memutuskan untuk menerimanya kembali saat itu, aku sampaikan pada mereka kalau aku akan meminta petunjuk dulu pada Sang Maha Pengatur."

Aku benar-benar sudah tidak bisa menguasai diriku pada saat itu. Bayangan masa-masa indah yang kulewati bersama Mas Adzin dan anak-anaknya semakin mengiris-iris ulu hatiku.

"Aku melakukan sholat tahajud beberapa malam Dik dan aku yakin jawaban yang Allah Ta'ala berikan adalah yang terbaik bagi kita. Sungguh Dik, aku benar-benar tidak ingin menyakiti hatimu tapi mungkin inilah yang terbaik bagi kita, aku akan menyatukan kembali anak-anakku dengan ibunya Dik Zai, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya padamu, kau gadis yang begitu baik, kau sudah ikhlas menerimaku meski aku sudah punya dua anak, kau sudah merelakan banyak waktumu untuk mengurus Arikah dan Arinah, maafkan aku Dik Zai, maafkan aku," Mas Adzin tertunduk lesu.
Afifah yang dari tadi diam saja lalu bergeser ke sebelahku, merangkulku dalam pelukannya, aku menangis sejadi-jadinya.

Kota Cinta, 6 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar