Jumat, 12 Agustus 2011

SUNYI

Matahari telah masuk peraduannya, sekawanan camar nampak  bergegas terbang menuju sarangnya. Muda-mudi yang tadi asyik bercengkrama di bibir pantai kini sudah meninggalkan tempat itu. Ibu-ibu penjaja makanan dan minumanpun telah kembali ke rumah masing-masing. Suasana di Pantai Parangtritis benar-benar sepi. Dingin angin pantai mulai merasuki tubuh. Deburan ombak semakin meninggi dan menghempaskannya tepat ditempatku duduk. Aku bergegas bangkit dan berjalan membelakangi laut. Suasana hatiku sudah mulai reda meski belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan kalau Mas Adzin yang aku cintai kini telah pergi dan kembali kepada istrinya.

Siang itu, selepas bertemu dengan Mas Adzin aku memutuskan untuk tidak langsung kembali ke rumah, aku tidak mau membuat Ibu dan Bapaku ikut terluka karena putri semata wayangnya tidak jadi menikah dengan calon menantu yang sangat mereka sayangi. Aku ingin menengangkan diri sejenak, tinggal di rumah Bulikku di Parantritis. Aku tahu, Mas Adzin juga sangat berat melepaskanku, dia tidak tega melihatku terluka.
“Dik Zai, sekali lagi maafkan aku, aku tahu Dik Zai sangat menyayangi Arikah dan Arinah tapi mungkin jalan kita harus seperti ini, aku yakin Dik Zai akan menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dariku, lebih menyayangimu lebih mencintaimu dan lebih bisa Dik Zai jadikan imam, maafkan aku Dik”,ujar Mas Adzin terbata-bata.
Bagiku kata-kata itu hanyalah sebuah untaian tanpa makna karena hatiku sakit sekali. Aku tidak pernah membayangkan kalau inilah akhir dari impian dan penantianku selama ini. Impian yang begitu indah kini harus kandas ditengah jalan.
“Lupakanlah aku Dik, aku tahu kau adalah perempuan yang tegar setegar karang, aku tahu kau tidak akan terpuruk karena kejadian ini, aku tahu kau akan kuat menerima keputusanku”, kata Mas Adzin yang terdengar semakin parau.

Tangisku semakin menjadi, aku benar-benar tidak bisa lagi menguasai diri, Afifah terus menepuk-nepuk bahuku untuk menguatkanku. Aku benar-benar berada dititik nadir kehidupanku. Dunia rasanya gelap, aku tak tahu lagi ke mana kaki ini hendak kulangkahkan. Emosiku benar-benar memuncak.
“Istighfar Mbak Zai, istighfar, ingatlah sama Allah Mbak”, tiba-tiba Afifah mengingatkanku.
“Astaghfirullahal’adzim….”, kuucap istighfar berkali-kali ditengah isak tangisku. Dan benar, Alhamdulillah akhirnya emosiku akhirnya reda.Kukumpulkan kembali semangatku. Aku harus tetap bertahan meski mungkin aku tidak bisa melupakan Mas Adzin seumur hidupku tapi dunia tidak akan berhenti berputar hanya karena aku harus merelakan Mas Adzin kembali kepelukan istrinya.
Saat kesadaranku telah pulih dan isak tangisku telah terhenti aku langsung telepon ke rumah.
“Assalamu’alaikum Bu, ini Zai, Bu malam ini Zai mau minta ijin untuk menginap di rumah Bu Lik Sri di Parangtritis, Zai kangen sama Bulik”, pintaku pada Ibu.
Dan seperti biasa, Ibuku, Ibu terhebat seduni selalu mengijinkanku karena memang sejak kecil aku sangat dekat dengan Bulik Sri. Dulu Beliau tinggal bersama kami, Ibulah yang mengasuh Bulik karena nenek kami meninggal waktu Bulik masih kecil dan Ibulah yang menggantikan peran nenek. Ibu sangat menyayangi adik-adiknya terutama Bulik Sri dan sampai aku lahir Buliklah yang merawatku. Bulik Sri baru meninggalkan rumah kami setelah menikah dengan seorang  pedagang dari Parangtritis. Namun kedekatanku dengan Beliau tetap tak terpisahkan oleh jarak. Aku masih sering menginap di rumahnya. Makanya tiap kali aku minta ijin untuk menginap di sana sudah pasti Ibu selalu mengijinkanku. Alhamdulillah…Allah Swt memberiku Ibu yang sangat baik hati…..
“Mas, bolehkan untuk terakhir kalinya aku meminta bantuanmu untuk mengantarkanku ke Parangtritis, aku mau menginap di rumah Bulik Sri”, pintaku.
Mas Adzin menjawab permintaanku hanya dengan anggukan kepala. Aku tahu ada banyak kata yang ingin dia sampaikan tapi mungkin sudah tidak tega lagi melukaiku.
“Mas, tolong diputarkan lagu Maher Zain ya yang judulnya The Rest of My Life”, pintaku lagi. Dan lagi-lagi tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutnya langsung memutar lagu kesayangan kami, lagu yang selama ini selalu kami dengarkan saat jalan-jalan bersama anak-anak sampai-sampai Arikah dan Arinah protes kenapa lagu itu terus yang diputar dan kami hanya tersenyum.

Lagu yang sangat indah, lagu yang dulu seolah menyatu dengan impian dan hati kami. Kami akan menghabiskan sisa umur kami untuk saling mencintai, saling mencintai karena Allah. Namun rupanya Allah Swt berkehendak lain. Mungkin yang kami inginkan bukanlah yang terbaik untuk kami menurut Allah Swt. Aku jadi teringat nasihat seorang kawan yang dia kirimkan melalui sms
“Sesaat aku merenung, ketika aku minta pada Allah setangkai bunga segar, Ia beri aku kaktus berduri, ketika aku minta pada Allah binatang mungil nan cantik, Ia beri aku ulat berbulu, aku sedih, protes dan kecewa….betapa tidak adilnya ini……namun kemudian, kaktus itu berbunga, sangat indah sekali dan ulat itupun telah tumbuh dan berubah menjadi kupu-kupu yang amat cantik. Itulah jalan Allah, indah pada waktunya! Allah tidak beri apa yang kita harapkan tapi Dia memberi apa yang kita perlukan. Kadang kita sedih, kecewa, terluka tapi jauh di atas segalanya, Dia sedang merajut yang terbaik untuk kehidupan kita”.

Sepanjang perjalanan kami semua diam. Bergelut dengan angan dan pikiran masing-masing. Aku yang duduk di jok belakang diam seribu bahasa, menyandarkan badan dan kepalaku pada jok, kupejamkan mata, kurenungi nasihat temanku tadi sambil meresapi lagu yang tengah diputar sampai akhirnya aku tertidur.

“Mbak Zai, kita sudah sampai di Parangtritis, di rumah Bulik Sri”, Afifah membangunkanku. Pelan kubuka mataku, kukucek-kucek, kupandangi kanan kiriku, ternyata benar, aku sudah berada di depan rumah Bu Lik Sri. Aku turun dari mobil. Bulik ternyata sudah berdiri di belakangku, kubalikkan badanku dan kucium tangan Bulik lama sekali. Beliau sudah hafal sekali kelakuanku, kalau aku bertingkah seperti ini pasti sedang ada yang tidak beres, Beliau lalu mengangkat bahuku, memelukku erat-erat. Mas Adzin dan Afifah pamitan.
“Lho, kok Mas Adzin dan Mbak Afifah nggak masuk dulu”, tanya Bulik Sri.
“Maaf Bulik, kami harus pulang soalnya sebentar lagi harus diatar ke TPA, Insya Allah lain kali aja Bulik, saya titip Dik Zai”, jawab Mas Adzin.

Seperti biasa, Bulik tidak pernah banyak tanya kalau sudah melihatku dalam keadaan seperti ini. Beliau tahu aku kan dapat menguasai diriku sendiri.Aku hanya membutuhkan ketenangan. Bulik segera masuk ke kamarku, kamar yang memang khusus disediakan untukku, di sana juga ada beberapa helai pakain yang aku kenakan tiap kali menginap di rumah Bulik. Beliau mengambil pakaianku dari lemari dan segera memanggilku yang masih terdiam, duduk di teras.
“Zai sayang, mandi dulu ya, kebetulan di tungku ada air hangat, mandilah dulu, cuci rambutmu dengan air hangat biar pikianmu menjadi lebih tenang”, perintah Bulik Sri.
Tanpa menjawab, aku bergegas ke dapur, Bulik masih memakai tungku untuk memasak, katanya lebih alami dan lebih enak rasanya dan kayu bakar juga masih banyak tersedia di sekitar rumah. Aku menuangkan air panas dari panci ke dalam ember dan membawanya ke kamar mandi.
Benar kata Bulik, setelah mandi aku merasakan batinku lebih tenang. Emosiku mulai reda. Pikiranku mulai terang. Jalan hidup manusia memang so undpredictable tidakbisa diprediksi. Manusia hanya bisa merencanakan sedang keputusan akhir adalah hak prerogatif dari Sang Maha Pengatur alam semesta. Seusai mandi aku menunaikan sholat Ashar, batiku semakin tenang.Keluar dari tempat sholat Bulik menuntunku ke ruang makan.
“Zai, makan ya, Bulik tadi masak sayur kesukaanmu, sayur daun singkong, goreng ikan teri dan bikin sambel korek, makanlah, Zai pasti lapar”, ujar Bulik Sri.|
Benar saja, aku makan sangat lahap sekali, mungkin tangisku tadi menguras energiku dan membuatku kelaparan. Bulik tersenyum-senyum memandangiku.
“Zai, kau masih sama seperti saat masih kecil dulu, setelah hilang emosimu maka kau pasti akan makan dengan lahap”, kata Bulik menggodaku. Aku meringis.
Untung saja tadi Bulik mengambilkan nasi cuma satu sendok nasi jadi aku tidak sampai kekenyangan karena sudah pasti Beliau akan mengingatkanku “Zai, kamu harus ingat dong sama hadis “
makanlah sebelum lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang”.
 “Bulik, Zai mau kepantai dulu, Zai pengin lihat deburan ombak”, pintaku.
“Ya Zai, nikmatilah anugerah Allah Swt sepuasmu tapi jangan lupa Zai harus pulang sebelum Maghrib”, jawab Bulik.

Rumah Bulik Sri hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari bibir pantai. Kuberjalan menyusuri gang rumah penduduk, mereka semua adalah tetangga Bulik Sri yang sudah sangat mengenalku, kusapa mereka dan kadang aku hanya menganggukan kepalaku saja. Aku mencari tempat yang jauh dari kerumunan dan ingin menyendiri…………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar